Dulu, meja kopi di sudut kantor itu adalah saksi bisu. Di sana, kita bukan sekadar rekan kerja yang berbagi kubikel; kita adalah sekutu. Tempat kita bertukar isi kepala, menertawakan absurditas birokrasi, hingga merancang mimpi-mimpi kecil untuk masa depan. Kamu adalah pendengar yang baik, dan aku (semoga) adalah penyeimbang yang cukup layak bagimu.


​Lalu tibalah hari itu. Kamu memutuskan untuk berkemas. Sebuah langkah wajar untuk mencari tantangan baru atau sekadar udara yang lebih segar. Kita berpelukan, berjanji bahwa frekuensi pertemuan mungkin berkurang, tapi kualitasnya tak akan hilang.


​Namun, aku salah.

​Bukan jarak fisik yang kini membentang di antara kita, melainkan sebuah jurang persepsi yang kau gali perlahan-lahan.


​Masalahnya bukan karena kamu kini berada di "kolam" yang berbeda. Sah-sah saja orang berpindah tempat. Masalahnya ada pada bagaimana kamu kini memandang kolam lama yang pernah membesarkanmu—kolam tempatku masih bertahan.​Setiap kali kita bertemu atau bertukar pesan, ada nada bicara yang berubah. 


Sensitivitasmu menumpul. Kamu tidak lagi bertanya "Apa kabar?" untuk mendengar ceritaku, melainkan sebagai pintu masuk untuk membandingkan nasib.

​Perhatian itu telah bergeser. Dulu kita berdiskusi untuk mencari solusi bersama, kini narasi yang kau bawa terasa seperti kuliah satu arah.


​Secara implisit, tanpa kata-kata kasar atau vulgar, kamu membangun tembok. Lewat senyum simpulmu saat aku menceritakan kendala di kantor lama, lewat saran-saranmu yang terdengar "menggurui" alih-alih "memahami", kamu mengirimkan pesan yang jelas:

​"Lihatlah aku. Aku sudah selamat. Sementara kamu? Kamu masih berkubang di sana."


​Kamu seolah melukiskan tempatku berdiri sekarang sebagai kolam yang airnya tak lagi mengalir. Berlumut. Penuh bakteri. Tempat yang tidak sehat bagi jiwa-jiwa yang ingin maju—sepertimu.


​Ada kepongahan halus di sana. Sebuah keyakinan buta bahwa keputusanmu untuk pergi adalah satu-satunya kebenaran mutlak, dan keputusanku untuk bertahan adalah sebuah kebodohan yang menyedihkan. Kamu seakan lupa, bahwa di kolam yang kau sebut "berlumut" ini, kita pernah tumbuh bersama. Bahwa bakteri yang kau jijikan itu, dulunya adalah ekosistem yang menempa mentalmu hingga kau berani melangkah keluar.


​Sikapmu bukan lagi seperti teman, melainkan seperti seorang nabi yang baru turun dari gunung membawa wahyu, memandang iba pada umatnya yang masih tersesat di lembah.

​Itu menyakitkan, Kawan. 


Bukan karena aku iri dengan kolam barumu yang mungkin lebih jernih atau luas. Tapi karena kau kehilangan kemampuan untuk menghargai pilihan orang lain. Kau lupa bahwa setiap orang punya zona waktu dan medannya sendiri.


​Mengajak orang lain untuk maju itu mulia. Namun, merasa bahwa jalanmu adalah satu-satunya jalan terbaik, sambil merendahkan tempat pijakan orang lain secara halus, adalah bentuk narsisme terselubung.


​Pada akhirnya, aku turut bahagia kau menemukan air yang lebih jernih. Namun, tolong simpan rasa kasihan itu. Karena di sini, di kolam yang kau anggap keruh ini, aku masih bernapas, masih berjuang, dan yang terpenting—aku masih menghargai teman tanpa merasa lebih tinggi darinya.




Sungguh, di antara kalimat-kalimat terindah yang mengiringi janji suci pernikahan adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah “Barakallahu laka, wa baraka ‘alaika, wa jama’a bainakuma fii khoir.”


Ini bukan sekadar untaian kata, melainkan sebuah filosofi utuh tentang janji hidup berdua. 


Dari sekian makna yang terkandung dalam doa indah ini, cukup satu yang akan kubahas.


Dalam bahasa Arab, terdapat kekayaan makna yang tersembunyi. Perhatikanlah dua kata kuncinya: “laka” dan “’alaika”. Keduanya secara harfiah dapat diartikan “atasmu” atau “bagimu”. Namun, maknanya terpisah sejauh langit dan bumi.


”Laka” merujuk pada segala hal yang bersifat baik, membahagiakan, lapang, dan menenangkan. Ini adalah rahmat yang kita terima dengan senyum dan syukur.


Sebaliknya, “’Alaika” digunakan untuk merujuk pada segala hal yang bersifat sulit, sempit, musibah, dan pertengkaran. 


Ketika Nabi Muhammad mengajarkan doa ini memohon keberkahan “laka” (dalam kebaikan) dan keberkahan “’alaika” (dalam kesulitan). Beliau sedang melukiskan potret pernikahan yang sakral.


Pernikahan bukanlah negeri dongeng yang hanya dipenuhi tawa dan sinar mentari. Ini adalah sebuah perjalanan sejati yang mengharuskan kita mengarungi lautan dengan badai dan ombak tenang.


Doa ini mengajarkan kita sebuah penerimaan yang mendalam.


Keberkahan “laka”: Saat pasanganmu mencapai puncak karir, saat tawa anak-anakmu memenuhi rumah, saat kesehatan memayungi hari-harimu, itulah keberkahan dalam kelapangan yang harus kita syukuri bersama.


Keberkahan “’alaika”: Saat musibah datang mengetuk pintu, saat perbedaan pendapat berubah menjadi pertengkaran, saat salah satu dari kalian terpuruk dalam duka, di sinilah letak keberkahan sejati yang lain. 


Keberkahan dalam kesulitan adalah kekuatan untuk saling menggenggam, kesabaran untuk memaafkan, dan komitmen untuk tetap bertahan saat dunia terasa runtuh.


Pernikahan yang sejati adalah ketika dua jiwa berdiri berdampingan dan berkata, “Aku menerima engkau bukan hanya yang ‘laka’ darimu (tawa dan bahagiamu), tetapi juga yang ‘alaika’ darimu (dukacita dan kesulitanmu). Aku menerima keberkahan dalam kelapangan, dan aku pun siap menerima keberkahan dalam ujian.”


Karena hanya dengan menerima suka pun duka, janji suci ini bisa menjadi “wa jama’a bainakuma fii khoir”, dan menyatukan kalian berdua dalam kebaikan, selamanya.


Bisa kurasakan setiap tetes waktu merayap lambat. Setiap detik seperti kerikil yang jatuh ke dalam genangan air, menciptakan riak-riak kecil yang perlahan menghilang. Begitulah hidup ini. Sebuah penantian, bukan untuk kebahagiaan yang konon dijanjikan di bumi, melainkan untuk sebuah ketenangan.


​Kala itu, pagi datang tanpa semburat jingga, dan malam tiba tanpa bintang-bintang yang berkedip. Dalam kesunyian seperti itu, aku merenungi semua. Tuhan, tidak pernah Ia menjanjikan kebahagiaan di dunia ini. Ia menyimpannya, membungkusnya dalam paket yang hanya akan terbuka di surga. Kebahagiaan sejati, kata mereka, adalah hadiah bagi hamba-Nya yang berhasil melewati labirin kehidupan.


​Jadi, apa yang tersisa untuk kita di dunia yang fana ini? Ketenangan. Sebuah rasa damai yang tidak bisa dibeli, tidak bisa diwariskan, dan tidak bisa dipamerkan. Ketenangan itu bagai sungai yang mengalir di bawah permukaan, tidak terlihat, tetapi kehadirannya bisa dirasakan.


​Tidak semua orang beruntung. Ketenangan itu tidak datang pada semua orang. Ada yang memiliki harta melimpah, rumah megah, dan mobil-mobil mewah, tetapi jiwanya kering kerontang. Mereka berjalan di atas permadani sutra, tetapi jiwanya telanjang. Kebahagiaan yang mereka kejar hanyalah fatamorgana. Mereka berlari, mengejar bayangan yang semakin jauh, padahal yang mereka butuhkan adalah berhenti dan membiarkan ketenangan menemukan mereka.


​"Ketenangan bukanlah sebuah tempat, tetapi sebuah keadaan jiwa. Ia tidak ditemukan di luar, melainkan dibangun dari dalam. Kamu bisa memiliki segalanya di dunia, tetapi jika kamu tidak memiliki ketenangan, kamu tidak akan pernah memiliki apa-apa."


Tahu tidak, bagi saya—bagi banyak kepala keluarga di luar sana—rumah itu lebih dari sekadar tumpukan bata dan atap. Rumah adalah garis finish dan garis start sekaligus. Itu tujuan utama, hal yang akan selalu saya perjuangkan mati-matian. Ini bukan cuma kewajiban, tapi naluri. Insting alami seorang kepala keluarga, seorang alpha, yang tahu betul: harus ada tempat kembali yang pasti.


Saya bicara tentang rumah secara harfiah. Bangunan fisiknya. Tempat di mana semua lelah dan letih sepanjang hari bisa diserap, di mana jaket berat pekerjaan bisa dilepas, dan di dalamnya bisa menjadi diri sendiri lagi.


Rumah itu tidak perlu besar, sungguh. Saya tidak terlalu peduli dengan luasan tanah atau berapa banyak lantai. Itu hanya pertimbangan sekunder. Yang utama adalah rasanya. Mungkin ketenangan suasana dan lingkungan adalah awal terbaik untuk menyebut suatu tempat sebagai rumah. Apakah di sana hati bisa damai? Itu intinya.


Sejak hari pertama saya memiliki keluarga kecil ini, insting itu langsung muncul: Saya harus membuatkan rumah yang spesial untuk mereka. Dan anehnya, pondasi utama dalam merancang rumah impian saya selalu tertuju pada satu sumber: gambaran surga yang disebutkan dalam Al-Qur'an.


Bayangkan saja! Surga digambarkan begitu sempurna: mengalir sungai-sungai kecil di bawahnya, pepohonan rindang dengan buah-buahan yang bisa dipetik kapan saja, dan punya tetangga yang baik hati dan seumuran. Rasanya damai sekali, bukan?


Maka, rumah yang saya rancang dalam pikiran saya—dan yang saya usahakan agar bisa terwujud—selalu saya coba tarik sedekat mungkin ke gambaran surga itu. Karena jelas, surga (Jannah) adalah Heaven, adalah tempat kembali yang paling sempurna. 


Dengan begitu, setiap kali saya atau keluarga saya melangkahkan kaki melewati pintu, kami tidak hanya pulang ke sebuah rumah. Kami pulang ke Surga Kecil kami yang diupayakan di dunia ini. Itu adalah janji perlindungan dan kedamaian yang kami pegang teguh.


 Memilihkan sekolah bagi anak-anak seperti sebuah seni, seni mensinkronkan keinginan dan peluang. apalagi di era modern dengan sistem yang tak semua orang tua familiar dengan komputerisasi seperti sekarang. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang telah beralih menggunakan sistem komputerasi menuntut para orang tua memahami skema dan mekanisme proses masuk ke sekolah baru.

Begitupun bagi yang telah mafhum dan mahir mengoperasikan komputer, tak menjadikannya mudah. karena juga harus tahu bagaimana alur dan kriteria jalur penerimaan. dimana yang paling sering menjadi polemik adalah jalur zonasi, atau jalur penerimaan yang memungkinkan siswa mendaftar di sekolah dimana terdapat pembatasan area lokasi sekolah.

Menjadi polemik tersebab banyak kejanggalan yang terjadi, yaitu banyak siswa yang ternyata berdomisili di luar batas jarak yang disyaratkan untuk mendaftar ke sebuah sekolah. Ataupun carut marut yang terjadi pada pendaftar yang memilih jalur afirmasi dimana seharusnya tak berhak memanfaatkan jalur tersebut namun pihak-pihak tertentu dapat menerbitkan keterangan yang membuktikan keafirmatifannya.

Terjebak arus besar

Para orang tua kebanyakan begitu bernafsu mendaftarkan putra-putrinya dengan memanfaatkan jalur zonasi, karena yakin bahwa jarak domisili rumah dan sekolah masih di dalam jarak yang disyaratkan. walau sejatinya tahu dan menyadari bahwa kejanggalan rawan terjadi di jalur ini. mereka tidak menyadari faktor X yang terkadang diluar penilaian dan tak terprediksi. 

Terbukti kemudian, saat peringkat putra-putrinya tergeser secara tidak wajar oleh pesaing-pesaing yang menggunakan faktor X, dengan sejadinya mereka berontak, tanpa strategi dan membabi buta. teringat pepatah lama mengatakan "ubahlah apa yang mampu diubah, dan jangan berusaha mengubah apa yang di luar kemampuan!" artinya, setiap orang memiliki batasan kemampuan, kuasa atau pengaruh. mendobrak kejanggalan itu di luar batasan kemampuan sendiri biasanya akan berakhir seperti bertemu tembok besar yg sulit diruntuhkan, walaupun kadang berhasil namun hanya 1 berbanding seribu kejadian.

Menyusun strategi sejak awal

Ketika PPDB mulai dibuka yang pertama saya lakukan adalah membuat riset, bukan riset major hanya riset kecil kecilan. saya mengumpulkan data-data setiap sekolah yang di jaman jejaring internet telah menggurita ini sangatlah mudah mendapatkannya.

Mulai dari jarak sekolah, akreditasi sekolah, prestasi sekolah, nilai rata-rata penerimaan, nilai rata-rata lulusan, bahkan sampai testimoni mengenai sekolah bisa discraping dengan mudah dari internet. menyusunnya dalam sebuah standar statistika dan mencari sekolah yang paling relevan dengan kondisi sendiri.

Dengan begitu dapat menyusutkan pilihan sekolah dan mendeskripsikan dengan baik letak kelebihan dan kekurangannya. dan kemudian menyesuaikan dengan kebutuhan dan kecocokan dengan minat anak.

Berikutnya adalah memilih jalur yang paling sesuai dengan kemampuan. baik apabila sudah dimafhumi bahwa jalur zonasi adalah jalur yang sulit dan penuh aral rintang baik secara kasat mata maupun tak kasat mata. maka sebisa mungkin jalur ini coba saya hindari. 

Jalur Prestasi yang jarang dilirik

Sedikit yang mencoba bertarung di jalur prestasi, tersebab jarang yang mempersiapkan jauh-jauh hari. memang sedikit yang memiliki prestasi yang dapat dibuktikan dengan sertifikat baik akademik maupun non-akademik.

jalur non-akademik yang saya pilih dan dipersiapkan dengan baik kepada anak adalah dengan mendisiplinkan mereka di jalur tahfidz. jalur ini juga jalur prestasi yang masih diapresiasi dalam PPDB dengan poin yang cukup tinggi. oleh karena itu jalur ini masih sangat mungkin untuk dikejar dalam bersaing untuk PPDB.