Minggu pagi di Sudirman bukan sekadar ajang olahraga, ini adalah runway. Dan pagi ini, saya adalah model utamanya.
Bayangkan visualnya, Kacamata sport minus (biar tatapan tajam tak terlihat saat ngos-ngosan).
Sepatu merk ala ala harga UMR last call pula (padahal lari cuma napak, nggak mental).Outfit: Full anak lari atas bawah, lengkap dengan hydration vest padahal cuma lari dari Patung Kuda ke Bundaran HI.
Secara tampilan? Atlet Pelatnas.
Secara realita? Pace 10 (zona nyaman alias jalan cepat berkedok lari).
Saya berlari dengan teknik "shuffle" halus. Kaki diseret dikit biar kelihatan low impact, padahal aslinya sudah low energy. Di kiri kanan, pelari pace 5 melesat wus-wus. Saya tetap tenang. Trust the process, kata motivator lari.
Masuk kilometer ke-8, napas sudah senin-kamis. Keringat bukan lagi menetes, tapi mengalir deras membasahi jersey ini. Mata mulai berkunang-kunang, sampai akhirnya saya melihat cahaya ilahi di pinggir jalan dekat halte busway Karet Sudirman.
Bukan, bukan tukang bubur.
Itu adalah booth jenama minuman isotonik dengan spanduk besar yang melambai-lambai indah:
"GRATIS T-SHIRT EKSKLUSIF BAGI YANG MENUNJUKKAN STRAVA LARI 10K HARI INI!"
Darah saya mendidih. Adrenalin yang tadinya tidur, mendadak bangun dan menampar wajah saya.
"Tinggal 2 kilo lagi, Boy! Sikat!" batin saya berteriak.
Seketika pace saya naik... jadi pace 9:50. Speeding dikit. Saya terjang kerumunan orang yang lagi foto-foto, saya salip mas-mas yang lagi dorong sepeda. Di otak saya cuma ada satu visual: Saya, berdiri gagah di booth, pamer data Strava, dan pulang bawa kaos gratis.
Kilometer 9... napas ngik-ngik.
Kilometer 9.5... betis menjerit.
Kilometer 10! FINISH!
Saya berhenti tepat 100 meter dari booth tersebut. Tangan di pinggang, dada dibusungkan (biar kelihatan pro yang baru cooling down). Dengan penuh percaya diri, saya berjalan ke arah mbak-mbak SPG yang tersenyum ramah.
"Halo Mas, mau klaim kaos? Boleh lihat Stravanya, minimal 10K ya," sapa si Mbak.
"Aman, Mbak. Ini easy run doang kok," jawab saya dengan nada sedikit pongah sambil mengangkat pergelangan tangan kiri.
Saya tekan tombol stop di smartwatch saya.
Saya tekan save.
Layar loading sebentar... dan muncullah ringkasan lari saya hari ini.
Hening.
Dunia berhenti berputar.
Suara bising CFD mendadak senyap.
Di layar jam itu, tidak ada peta rute cacing hijau khas Sudirman. Tidak ada garis oranye rute lari.
Yang ada hanya angka "10.02 km" dengan ikon kecil bergambar orang lari... di atas mesin.
Di pojok atas layar tertulis dengan jelas, polos, dan menyakitkan:
"TREADMILL MODE"
Muka saya pucat. Lebih pucat dari saat lari tadi. Rupanya, saat start tadi pagi, jari jempol saya yang chubby ini salah pencet profil olahraga.
"Mas? Mana petanya? Kalau mode treadmill atau indoor nggak bisa kami validasi soalnya nggak ada GPS-nya," tanya si Mbak, masih tersenyum, tapi senyumnya kini terasa seperti pisau yang menyayat hati.
Saya menatap jam. Menatap mbaknya. Menatap spanduk kaos gratis itu.
Lalu pelan-pelan menurunkan tangan.
"Eh... anu Mbak. Baterainya habis. Hehe. Makasih ya."
Saya mundur teratur, menyatu dengan kerumunan, pulang dengan outfit basah kuyub dan hati yang hancur lebur seharga gorengan dingin.



0 komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.