Warteg dan Diamnya Laki-laki

 



Pemandangan sehari-hari di sudut-sudut kota kita sering menyuguhkan sebuah dikotomi visual yang menarik mengenai pola konsumsi.


​Di satu sisi, kita melihat Warteg (Warung Tegal) atau rumah makan sederhana pinggir jalan yang selalu ramai, didominasi oleh para laki-laki. Mereka mungkin mengenakan kemeja lusuh, seragam kerja, atau pakaian kasual yang terlihat sudah lama, menyantap makan siang dengan cepat dan tanpa banyak bicara. Di sisi lain, kita menyaksikan deretan kafe kopi estetik atau gerai jajanan viral yang dipenuhi antrian panjang, dan sebagian besar dari mereka adalah perempuan.


​Jika dilihat sekilas, mungkin muncul anggapan bahwa perempuan-perempuan ini memiliki daya beli yang lebih tinggi. Namun, realitasnya seringkali jauh lebih kompleks, dan seperti yang Anda catat, bukan berarti perempuan lebih kaya. Perbedaan ini tampaknya berakar pada peran sosial, prioritas keuangan, dan beban psikologis yang tak terucapkan.


​Pengamatan mengenai laki-laki, terutama di usia 30 hingga 40-an, sangatlah tajam. Pada usia ini, laki-laki seringkali berada di puncak tanggung jawab—sebagai anak, suami, dan ayah.


​Penampilan Sederhana dan Hidup Hemat yang mereka tunjukkan bukanlah cerminan dari kemiskinan, melainkan sebuah keputusan finansial yang disadari. Mereka adalah garda terdepan stabilitas ekonomi keluarga.


Sederhananya baju dan iritnya pengeluaran pribadi adalah hasil dari matematika pengorbanan, setiap rupiah yang dihemat dari kafein mahal atau pakaian branded dialokasikan untuk pilar-pilar penting kehidupan.


​Bangun tidur, pikiran mereka dipenuhi dengan daftar tugas tak kasat mata, memastikan orang tua yang menua memiliki perawatan dan kehidupan yang layak, merencanakan biaya sekolah, kursus, hingga dana pendidikan tinggi, menjaga agar dapur tetap berasap, cicilan terbayar, dan rumah tangga berjalan harmonis.


​Seringkali juga, mereka merasa harus menjadi jangkar emosional, menjaga perasaan dan memastikan kebahagiaan pasangan.


​Warteg dan warung pinggir jalan bagi laki-laki ini bukan sekadar tempat makan; ia adalah simbol efisiensi maksimum. Makanan cepat, mengenyangkan, dengan harga yang paling ekonomis. Sementara kafe mungkin menawarkan experience dan social currency yang penting (dan memang layak) bagi perempuan dan generasi muda, Warteg menawarkan subsistence yang memungkinkan dana sisa dialirkan ke kebutuhan primer keluarga. Laki-laki di Warteg adalah potret kesetiaan diam pada tanggung jawab.


Laki-laki hampir tak pernah mengucapkannya, Inilah inti dari beban tersebut. Budaya seringkali menuntut laki-laki untuk menjadi pilar yang kokoh, tidak mengeluh, dan memikul beban dengan diam. Mereka menyembunyikan kecemasan tentang masa depan, kelelahan mental, dan kerinduan akan kemewahan kecil di balik raut wajah yang terlihat cuek atau sibuk. Kepuasan mereka ditarik dari kebahagiaan kolektif orang-orang yang mereka tanggung, bukan dari pemenuhan hasrat pribadi.


​Perbedaan cara melihat isi yang datang antara Warteg dan kafe adalah sebuah cerminan sosial yang menyentuh. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap pilihan konsumsi yang berbeda, terdapat perhitungan, pengorbanan, dan beban tanggung jawab yang dipikul secara tidak setara dan seringkali dalam kesunyian.


0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.