Rasa ini...

Mungkin beginilah rasa yang ada di dada bapakku dulu, saat hujan mendera dengan derasnya. Namun tak kunjung anak-anaknya kembali ke rumah, padahal saat itu sudah lewat jam pulang sekolah. Apakah mungkin disekolah memang sedang tidak hujan? Ataukah mereka hanya sedang menepi, mempersilahkan guyuran air menggenang baru mereka beranjak?

Barangkali bukanlah air hujan yang bapakku pedulikan, hanya saja bila badanku basah kuyup apakah tubuhku masih bertahan terhadap demam? Karena tidaklah bapakku memanjakan dengan kendaraan yang mewah untuk mengantarku pulang pergi sekolah, pun tidak bekal sekolahku dicukupkan agar dapat menaiki kendaraan umum kala itu.

Sepeda ini pemberian bapakku yang begitu berharga, demi membahagiakan beliau sepeda jengki kumbang tua ini tetap kukendarai ditengah-tengah himpitan sepeda gunung yang mulai popular kala itu. Namun dengans edikit sentuhan menjadikan sepeda kumbang itu terlihat modis dan mengelabuhi umurnya. Biru mengkilap, dengan roda karet mentah berwarna orange tua, selaras dengan kulit sadle yang juga terkesan classic, tak akan ditemui lagi sepeda dengan langkah torpedo yang tersisa di parkiran sekolahku ini setidaknya.

Hujan tak kunjung reda, hingga suara adzan ashar memenuhi ruang udara. Bapakku semakin gelisah, dia bercumbu dengan rasa yang semakin lama semakin remang-remang. Anak-anakmu belum jua kembali ke peraduan, walau gelegar halilintar begitu menggema.

Kuyup, menggigil, gemeretak sekujur tubuhku saat kuucapkan salam di depan pintu rumah. Ku berlari ke pintu rumah paling belakang agar segera menuju kamar mandi dan tak hendak membasahi seluruh ruang rumah. Ibuku memburuku dengan handuk dan bergegas membantu melepas semua kain yang basah melekat dibadan. Walau ingin sekali hati meraih secangkir teh panas di meja itu namun tetap kulangkahkan kaki ke kamar mandi dan kubasuh seluruh sisa air hujan dan lumpur yang melekat.

Bapakku hanya melihatku dengan senyum dikulum, entah puas Karena si anak telah kembali pulang dengan selamat ataukah lega Karena ibuku tak lagi cemas tentang teh yang keburu dingin. Bapakku hanyalah lelaki tua dengan rasa yang sulit kumengerti. Senyumnya tak hanya menunjukkan bahagia, marahnya bukan selalu perkara benci, candanya tak hanya tentang lelucon.

Entah aku bercerita tentang bapakku, ataukah diriku sendiri. Yang pasti sore ini sedang hujan diluar jendela sana, dan anak-anakku belum juga memberi kabar tentang keberadaannya apakah dirumah ataukah sedang terguyur hujan. Satu hal yang pasti di benakkau kini, aku adalah anak bapakku, mengalir darahnya didalam diriku, begitupun rasa yang ada ini terhadap anak-anakku,aku adalah bapakku.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan menuliskan segala sesuatu, maka sampaikan walau pahit. insyaALlah lain waktu saya akan berkunjung balik.